Selasa, 19 Agustus 2008

KOMUNIKASI TRIPARTIT TINGKATKAN PRODUKSI MIGAS

Oleh: Ridwan Nyak Baik.*)

Desentralisasi melalui pemberian otonomi daerah secara luas yang terlegitimasi oleh Undang-Undang Nomor 32/2004 menggantikan Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 33/2004 pengganti Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah mendorong daerah – termasuk daerah penghasil migas - untuk berinisiatif membangun secara lebih mandiri berbasis sumberdaya wilayah yang dimilikinya..

Sumberdaya alam migas merupakan salah satu sumberdaya wilayah yang dimiliki oleh daerah, sejatinya dapat digunakan sebagai prime mover bagi daerah penghasil untuk mengakselerasi laju pertumbuhan.ekonomi. Namun kenyataannya daerah penghasil migas, bak empunya sawah yang hanya menerima setoran 15 % dari pendapatan menjual gabah - setelah penggarap memotong semua ongkos A-Z produksi – atas dasar laporan sepihak si penggarap lewat angka-angka yang diberikan kepada pejabat desa. Angka-angka itu dari tahun ke tahun bertambah turun. Si penggarap mengangkat berbagai alasan. Sang perangkat desa pun setuju-setuju saja tanpa mampu mencari tahu apa masalah substansi penyebab turunnya produksi.

Metafora di atas berlaku pada produksi migas Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan. Argumentasi untuk sasaran telunjuk dicari sedemikian rupa: mulai dari ladang tua, booming harga sehingga menyusahkan pencarian alat-alat pengeboran di pasaran, euforia reformasi dan demokratisasi yang kebablasan, persoalan tenaga kerja lokal, pertanahan, dan lingkungan baik fisik (terkait sampah, limbah, polusi, dan perilaku melestarikan lingkungan) maupun sosial komunitas sekitar daerah operasi. Dari masalah yang terpeta, di samping ladang tua yang bernuansa teknis operasi dan teknis kebumian bawah permukaan, maka problem lainnya merupakan persoalan permukaan yang bisa dilihat, diraba, serta didiskusikan secara konprehensif dan terencana. Atau dapat disebut sebagai managable problems.

Dalam konteks tersebut kita dapat memahami bahwa penggantian pucuk pimpinan BP Migas dan Direktorat Jendral Migas secara serentak dalam paruh pertama 2008 menemukan relevansi benang merahnya. Bahwa masalah subsurface teknik kebumian dapat diantisipasi dengan teknologi dan kepakaran para geosciencetist. Namun, masalah permukaan seperti kesulitan memperoleh peralatan pengeboran, pengadaan lahan untuk lokasi, pengurusan ijin-ijin, rencana usaha pengelolaan lingkungan, dan sebagainya seharusnya dapat diselesaikan lewat mekanisme courtesy call, lobby dan koordinasi berbasis jurus-jurus komunikasi strategis dengan stakeholders fokus, terutama pemerintahan daerah (pemprov/pemkab/kota) penghasil dan masyarakat sekitar.

Membincangkan kiat dan jurus komunikasi strategis, hakikatnya adalah komunikasi yang dijalankan dalam koridor fairness, transparansi, akuntabilitas, dan responsibilitas dengan format do what you talk and talk what you do. Inti persoalan hal dimaksud berada dalam budaya organisasi dan leadership style para petinggi yang duduk ditampuk piramida institusi. Ketika sang pemimpin menerapkan kebijakan komunikasi tertutup dan birokratis maka unsur-unsur stakeholders lainnya susah untuk berpartisipasi dan bersinergi. Ketiadaan peran daerah penghasil sejak tahap perencanaan dalam setiap program dan upaya peningkatan produksi migas nasional akan menjadi barrier entry saat eksekusi akan dilaksanakan.

Maka, penggantian pimpinan puncak kedua institusi pemegang otoritas sektor migas Indonesia tidak akan berpengaruh besar pada upaya peningkatan produksi jika komunikasi tripartit: antara pemegang otoritas (Ditjen Migas & BP Migas), pemprov/pemkab/kota daerah penghasil dan masyarakat sekitar terbendung oleh kolesterol kebijakan tertutup, gelap dan birokratis. Keberhasilan JOB Pertamina-PetroChina East Java melakukan pengeboran (sudah 7 sumur) di tengah kota Bojonegoro dan sekitarnya, dalam rangka pengembangan ladang migas Sukowati merupakan kisah sukses dalam mengantisipasi permasalahan permukaan secara strategis lewat komunikasi tripartit tersebud.

Jadi, kata kunci untuk meningkatkan produksi migas Indonesia adalah komunikasi untuk membangun sinergisitas, menggalang kemitraan, serta kebersamaan dalam rasa memiliki antara pemerintah pusat sebagai pemegang regulasi dan kebijakan dengan pemerintah daerah penghasil berikut masyarakat sekitar. Dari perspektif ini dapat dimaknai bahwa ketika kebijakan BP Migas dan Ditjen Migas, serta para operator KKS Migas alergi mengikutsertakan daerah penghasil sejak fase perencanaan sampai tahapan produksi dan lifting dilakukan maka setiap kebijakan untuk mendongkrak produksi migas nasional akan berjalan sempoyongan.*
_________________________________.
(*) Penulis adalah Corporate & Strategic Communication Spesialist, dan Mahasiswa S3 jurusan Pengembangan Wilayah, Sekolah Pasca Sarjana USU, Medan.

Tidak ada komentar: